DIMENSI
Dimensi
Malam itu terasa dingin, aku mulai mencoba untuk membuka mata. Kulihat sekelilingku, diseberang sana banyak orang yang berkerumun, entah apa yang mereka lakukan. Ingin aku mencari tau apa yang sedang mereka lakukan, namun badanku terlalu lemas seperti ada yang memaksa keluar hingga mati rasa. “Sial” hardikku dalam hati. Kenapa mereka terlalu sibuk mengerumuni sesuatu yang tidak jelas, sedangkan aku disini terkapar dan tak ada satu orang pun yang menolongku. Aku mencoba mencari perhatian mereka agar mereka segera menolongku, akan tetapi mereka acuh, mereka tak mendengarkanku. Ada apa gerangan? Kulihat ada seseorang yang mendekatiku dan berdiri beberapa langkah dariku, kucoba meminta tolong padanya,“Tolong aku, badanku terasa lemas dan aku tak bisa berdiri. Bisa kah kau membawaku ke rumah sakit tuan?”. Namun dia tak mendengarkanku, kulihat dia menatap nanar ke segerombolan orang yang ada di seberang, “Kau terlalu muda untuk mati sekarang nona.”, ucapnya sambil melangkah pergi.
Aku masih terkapar di tempatku karena masih lemas buatku mencoba untuk sekedar bergerak. Kulihat di seberang sana mulai berdatangan banyak polisi dan juga mobil ambulan. Polisi-polisi itu mamasang garis polisi seperti mengevakuasi sesuatu. Nampak seorang gadis muda berlumuran darah yang ditandu oleh petugas. Sebuah kecelakaan pikirku, namun aku merasa tak asing dengan wanita yang di bawa petugas itu. Mungkinkah?
***
Matahari mulai tinggi, sinarnya malu-malu menyapa semua makhluk yang ada di muka bumi ini. Semakin ia menunjukan sinarnya, semakin ia menjadi magnet bagi orang-orang untuk keluar dan menunaikan aktivitasnya. Tak terkecuali denganku, sinar matahari kini yang memaksaku untuk membuka mataku, namun kini sinarnya tak terasakan lagi oleh kulitku. Ya, aku masih syok dengan kejadian semalam, aku terlalu takut untuk menerima kenyataan dan akhirnya aku mencoba untuk memejamkan mataku, berharap apa yang aku lihat ada sebuah mimpi belaka. Namun sayang, mungkin kali ini Tuhan tak mengabulkan keinginanku dan aku harus mulai belajar berbesar hati. Aku terbangun di trotoar, tempat yang masih sama saat aku terkapar tadi malam. Padahal aku sangat berharap ada seseorang yang menggendongku dari sana dan merebahkanku di kasur yang empuk, ya itu hanyalah angan-anganku belaka. Kulihat orang-orang lalu lalang disampingku. Mereka tak menghiraukanku dan masih asik dengan ponsel-ponsel mereka. Kulihat dengan seksama tiap orang yang lewat, “Jadi, seperti ini kah aku setiap pagi? Sibuk menatap ponselku dan tak menghiraukan sekelilingku.” Seketika aku merasa lucu sendiri melihat tingkah mereka. Mereka seperti jemaah robot yang berjalan sambil menatap ponsel mereka dan seperti di kejar jam kerja yang berjalan layaknya bom waktu. Ya aku menyesali hari kemarin dan kemarin dan kemarinnya lagi yang selalu berulang selama bertahun-tahun. Aku menyesali mengapa aku menikmati hidupku yang hanya bergulat dengan pekerjaan, memprioritaskan pekerjaan dan hidup hanya demi pekerjaan. Tapi apa artinya menyesal bila semua kini tak ada artinya lagi?
Aku pun mulai bangkit dari tempatku dan mulai berjalan menyusuri trotoar. Dan kini bingung apa yang harus kulakukan mulai hari ini. Seketika dadaku sesak dan seakan bumi akan runtuh. Aku mulai menghakimi takdirku dan menyalahkan Tuhan. Aku terlalu bingung dengan kondisiku saat ini. Padahal biasanya aku selalu bisa diandalkan. Aku selalu jadi panutan bagi anak buahku dikantor. Bahkan mereka menobatkanku sebagai calon direktur dengan masa depan yang cerah. Dengan segala keputusan dan kebijakan yang aku buat aku bahkan bisa menjadikan perusahaan tempatku bekerja menjadi superpower diantara pesaing-pesaing yang ada. Banyak pujian bahkan penghargaan dari atasanku bahkan pihak eksternal atas kerja keras yang aku raih. Namun segala pujian dan penghargaan itu kini tiada berarti, aku terlalu rapuh dan menangisi takdirku. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku harus melangkah?
***
Ditengah kegundahanku tiba-tiba aku tertarik dengan sebuah kedai yang masih belum buka. Kulihat dari balik jendela kacanya ada seorang anak perempuan yang sedang menyapu lantai, kupikir dia adalah pegawai kedai itu. Meskipun masih pagi aku lihat anak itu sangat sibuk membersihkan ruangan, terlihat dari pakaiannya yang basah akan keringat. Aku tersenyum melihat itu. Anganku pun melayang ke beberapa tahun saat aku masih berstatus menjadi mahasiswi. Waktu itu bisa dibilang aku adalah orang yang sangat ambisius meskipun sampai aku bekerja dan menduduki posisiku pun aku termasuk orang yang ambisius. Aku pun selalu ingin menjadi yang terbaik saat aku mengerjakan sesuatu. Bagaimanapun caranya meskipun aku termasuk anak dari orang tua yang kurang mampu aku selalu berupaya agar aku bisa melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Siang malam aku belajar demi mendapatkan beasiswa impianku, hingga kuliah pun aku bekerja siang malam agar bisa mencukupi kebutuhanku selama kuliah. Meskipun begitu aku selalu mendapatkan nilai tertinggi di kampusku dengan IPK cumlaude. Namun atas segala yang kucapai saat itu membuatku menjadi pribadi yang angkuh. Aku bahkan meremehkan keberadaan orang tuaku. Aku merasa bisa melakukan segalanya tanpa campur tangan orang tuaku. Aku meremehkan doa ibuku setiap malam disela tahajudnya, dan aku pun menolak hasil jerih payah ayahku yang bekerja sebagai kuli bangunan demi sedikit membantu anaknya mencukupi biaya kuliahnya. Kuhardik mereka karena merasa usaha mereka tak ada gunanya. Namun mereka tetap melanjutkan usaha mereka walaupun kuhardik berkali-kali. Aku pun tak habis fikir kenapa mereka tetap melakukan usaha tak berguna itu. Sama sekali aku tak percaya akan doa ibuku dan jerih payah ayahku yang tak seberapa itu. Aku pun segera tersadar dari lamunanku dan menyesali kesalahanku di masa lalu, dan juga aku menyesali kenapa aku harus menyesal saat ini saat semuanya terlambat?
***
Bersambung....
Cup cup cup ๐ air matanya aku lap pake serbet mau? ๐๐๐
ReplyDelete