Dimana PMP? Kenapa PPKn?

hanya ilustrasi : pinterest

Di suatu pagi yang cerah..
“Eh, njing. Ngeselin banget dah lu, punya gue itu!”
“Enak aja lu, gue duluan juga yang nemu!” jawab anak satunya lagi.
Dan akhirnya mereka saling rebutan pensil temuannya.

 
Percakapan di atas adalah percakapan yang aku dengar dari ruang kelas di sebuah SD di Indonesia bagian Indonesia Barat dan real tanpa embel-embel. Dua orang anak lelaki yang beranjak remaja berumur sekitar Sembilan tahun dengan seragam merah putihnya yang sedikit kebesaran berbicara dengan intonasi tinggi dan menurut saya dengan kata-kata yang “kasar” di dalam wilayah territorial lembaga pendidikan dan di jam pelajaran. Miris? Pasti. Meskipun aku bukan siapa-siapa dari dua anak laki-laki itu tapi setidaknya aku juga pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar dan kurasa di jamanku dulu untuk sekedar berkata dengan intonasi keras disisipi pula dengan kata-kata kasar seperti mengata-ngatai dengan kata hewan dan ungkapan kasar lainnya adalah hal yang tabu. Kenapa tabu? Pasti nanti keluar ulmatum dari ketua kelas, “Awas nanti aku aduin ke bu guru!”

Yang bikin anehnya lagi, kebetulan di samping kelas dari kedua anak yang bertikai itu sedang di adakan pembelajaran dan ada guru yang mengawasi, ku rasa umpatan anak itu bisa terdengar sampai telinga guru itu, ternyaa tidak. Dan akhirnya pertengkaran mereka pun hanya jadi saksi dari teman-teman sekelasnya dan semoga saja ada salah satu dari mereka yang mengadu. Semoga saja, biar perkataan yang sebenarnya kasar itu bisa di tegur.

Tapi nggak cuma sekali saja aku dengar anak-anak itu berkata kasar. Pernah juga aku mendengarkan segerombol anak-anak SD itu menyanyikan lagu yang sempat viral di youtube, GGS (Ganteng-Ganteng Swag). Sebenarnya tak masalah mereka menyanyi lagu apa, tapi yang aku dengar dari lirik lagu itu banyak sekali umpatan-umpatan baik dalam bahasa Indonesia ataupun Bahasa Inggris. Dan mereka semua menyanyikan itu dalam bentuk paduan suara, seperti mereka menyanyikan lagu kebangsaan di senin pagi saat upacara. Tak ada respon apa pun dari guru-guru yang lalu lalang di depan kelas mereka. Entah yang acuh atau tak mendengar. Semoga tidak kedua-duanya.

Memang terdengar sepele, toh mereka mengatakannya tanpa tau artinya. Tapi coba bayangkan apa yang terjadi pada 10 atau 20 tahun kedepan bila kata-kata seperti Njing, Bego, Bangsat, dll jadi sebuah hal yang biasa di katakana dalam setiap panggilan anak-anak untuk memanggil temannya atau bahkan orang tuanya? Kita orang timur bray, orang Indonesia. Lagian orang barat nggak gitu-gitu amat kok. Tapi yang ku lihat banyak orang Indonesia terutama anak-anak muda yang menggunakan kata-kata kasar itu dalam setiap pertemuan dengan teman-temannya. Nggak percaya? Berarti mainmu kurang jauh.

Jadi, yang jadi pertanyaan disini, fungsi dari lebaga yang bernama sekolah itu apa? Apa hanya sebagai pencetak siswa-siswi yang mempunyai nilai-nilai akademikyang bagus  dan hanya di simbolkan dari angka saja? Di mana letak pendidikan moral mereka? Aku rasa keputusan pemerintah mengganti pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) jadi salah besar. Guru cuma menjelaskan butir-butir Pancasila dan juga regulasi-regulasi kewarganegaraan yang nantinya akan jadi pelajaran hapalan saja dan lupa bahwa sebagai warganegara Indonesia kita harus hidup berdasarkan moral-moral yang sudah di jelaskan di tiap butir Pancasila.

Aku nggak mau menyalahkan seluruhnya ke sekolah sih, karena itu semua bukan sepenuhnya salah sekolah. Dimana peran orang tua dalam menyikapi pertumbuhan anak-anaknya yang berjalan searus dengan perkembangan teknologi? Di saat semua bisa di akses melalui smartphone, apa pun itu. Hal yang paling baik hingga paling buruk sekalipun. Tiap orang di dalam rumah masing-masing mempunyai smartphone genggamnya sendiri dengan akses internet dari wifi rumah tanpa takut kehabisan kuota  (paling tagihan internet doang yang membengkak). Tanpa ada batasan mereka memberikan kebebasan untuk mengakses apapun yang mereka ingin ketahui tanpa di sadari. Saat anak-anak mereka yang butuh pendamping menghadapi derasnya arus informasi yang menimpa mereka, orang tua pun tak kalah sibuk dengan social media mereka sendiri. Hingga anak-anak itu mencari tau sendiri informasi itu dan meniru sesuka hati mereka karena tak ada yang memberi pengawasan atau larangan. Betapa kejamnya perkembangan teknologi tanpa adanya pengawasan.


Disini aku nggak mau menyalahkan siapapun, tapi untuk introspeksi saja. Biar bagaimana pun aku juga bakal jadi orang tua yang punya anak yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan derasnya pertumbuhan teknologi. Karena pendidikan moral paling utama tumbuh dari sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah dan ibu sebagai pionir utama dan keluarga lainnya sebagai pelengkap, kemudian di teruskan ke sebuah lembaga pendidikan yang di namakan sekolah. Di sekolah kita di pertemukan dengan banyak kepala dengan hasil didikan orang tua yang berbeda-beda pula. Di situlah tugas guru-guru mengarahkan mereka dengan jumlah yang banyak itu menuju perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Jangan salahkan guru, mereka juga manusia yang juga punya anak yang harus dididik sama dengan anak Bapak Ibu dan juga harus mengemban tugas tambahannya medidik putra/putri ibu juga. Jadi aku nggak akan membenarkan orang tua dengan alasan sibuknya menyerahkan seluruhnya pendidikan anaknya ke bangku sekolahan. Ingat, orang tua adalah guru pertama seorang anak, jadilah orang tua yang bijak.

Comments

Popular posts from this blog

ABANG UBER, KAMU JAHAT !!!